Minggu, 29 Mei 2011

Neraca Air


A.   JUDUL PRATIKUM    : MENGHITUNG NERACA AIR LAHAN BULANAN

B.   TEMPAT DAN WAKTU
Tempat                        : DiLaboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi
Waktu                          : Pada Tanggal 19 Mei 2011, pada pukul 10.00-12.00 WIB

C.   KELOMPOK                  : 6 ( Enam )

D.   Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu menghitung curah hujan rata -rata bulanan dengan metode regresi, statistika dan ranking.
2. Mahasiswa mampu menghitung dan menganalisis neraca air lahan bulanan metode thorthwaite.

E.   PENDAHULUAN

Dalam konsep siklus hidrologi bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk ( input) dan keluar (output) pada jangka waktu tertentu. Neraca masukan dan keluaran air di suatu tempat dikenal sebagai neraca air (water balance). Karena air bersifat dinamis maka nilai neraca air selalu berubah dari waktu ke waktu sehingga di suatu tempat kemungkinan bisa terjadi kelebihan air ( suplus) ataupun kekurangan (defisit). Apabila kelebihan dan kekurangan air ini dalam keadaan ekstrim tentu
dapat menimbulkan bencana, seperti banjir ataupun kekeringan. Bencana tersebut dapat dicegah atau ditanggulangi bila dilakukan pengelolaan yang baik terhadap lahan dan lingkungan nya.

Neraca air lahan merupakan neraca air untuk penggunaan lahan pertanian secara umum. Neraca ini bermanfaat dalam mempertimbangkan kesesuaian lahan pertanian; mengatur jadwal tanam dan panen; mengatur pemberian air irigasi dalam jumlah dan waktu yang tepat.

Dalam perhitungan neraca air lahan bulanan diperlukan data masukan yaitu curah hujan bulanan (CH), evapotranspirasi bulanan (ETP), kapasitas lapang (KL) dan titik layu permanen (TLP). Nilai -nilai yang diperoleh dari analisis neraca air lahan ini adalah harga-harga dengan asumsi-asumsi : (1) lahan datar tertutup vegetasi rumput, (2) lahan berupa tanah dimana air yang masuk pada tanah tersebut hanya berasal dari curah hujan saja dan (3) keadaan profil tanah homogen sehingga KL dan TLP mewakili seluruh lapisan dan hamparan tanah.

Penyusunan neraca sumberdaya air merupakan salah satu cara untuk memantau kekritisan sumberdaya air (kekritisan DAS). Untuk menganalisis neraca air di daerah penelitian digunakan suatu pendekatan yaitu metode Thornwaite-Mather untuk menghitung defisit lengas tanah, kebutuhan air dalam satu tahun. Perhitungan neraca air dilakukan dengan masukan berupa data curah  hujan  bulanan,  Water  Holding  Capacity (WHC)  berdasarkan  perubahan penggunaan lahan serta letak lintang tiap stasiun penakar hujan.Hasil penelitian menunjujkkan bahwa, Kemampuan sub DAS Keduang merespon curah hujan untuk meresapkan air relatif besar hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi bentuklahan  di  sub  DAS  Keduang  yang  memiliki  solum  tanah  tebal,  material penyusunnya berupa butiran halus sampai kerakal  dan penutupan vegetasi yang rapat oleh dominasi sawah dan tegalan.   Sub DAS Wuryantoro memiliki kemampuan merespon  curah  hujan  lebih  kecil  oleh  karena  kondisi  bentuklahan  di  sub  DAS 
Wuryantoro yang memiliki solum tanah tipis, material penyusunnya berupa batuan padat  dengan  penutupan  vegetasi  yang  didominasi  oleh  jenis  tanaman  berakar dangkal.  Perhitungan  surplus  di  sub  DAS  Wuryantoro  menunjukkan  dimana bulan-bulan yang memiliki surplus terbesar berada di antara bulan november sampai dengan april, periode waktu defisit berlangsung selama 6 bulan  (Mei-Oktober). SubDAS Keduang memiliki bulan-bulan surplus lebih panjang dari sub DAS Wuryantoro yaitu selama 8 bulan yang berada di antara bulan oktober hingga juni, periode waktudefisit berlangsung selama 4 bulan (juni-septemberindeks kekritisan untuk sub DAS Keduang    adalah 64,5%  dengan  klasifikasi  mendekati  kritis.  Sementara  sub  DAS Wuryantoro 42,3 % dengan klasifikasi kelas belum kritis



F.    LANDASAN TEORI
Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui jumlah air tersebut kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit).
Kegunaan mengetahui kondisi air pada surplus dan defisit dapat mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan air sebaik-baiknya.
Manfaat secara umum yang dapat diperoleh dari analisis neraca air antara
lain:
  1. Digunakan sebagai dasar pembuatan bangunan penyimpana dan pembagi air serta saluran-salurannya. Hal ini terjadi jika hasil analisis neraca air didapat banyak bulan-bulan yang defisit air.
  2. Sebagai dasar pembuatan saluran drainase dan teknik pengendalian banjir. Hal ini terjadi jika hasil analisis neraca air didapat banyak bulan-bulan yang surplus air.
  3. Sebagai dasar pemanfaatan air alam untuk berbagai keperluan pertanian seperti tanaman pangan – hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga perikanan.
Model neraca air cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga model, antara lain:
1.      Model Neraca Air Umum.

Model ini menggunakan data-data klimatologis dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya bulan-bulan basah (jumlah curah hujan melebihi kehilangan air untuk penguapan dari permukaan tanah atau evaporasi maupun penguapan dari sistem tanaman atau transpirasi, penggabungan keduanta dikenal sebagai evapotranspirasi).


2.      Model Neraca Air Lahan.

            Model ini merupakan penggabungan data-data klimatologis dengan data-data tanah terutama data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu Permanen (TLP), dan Air Tersedia (WHC = Water Holding Capacity).
  • Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan tanah tersebut akan terus-menerus diserap akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada suatu saat akar tanaman tidak lagi mampu menyerap airsehingga tanaman menjadi layu. Kandungan air pada kapasitas lapang diukur pada tegangan 1/3 bar atau 33 kPa atau pF 2,53 atau 346 cm kolom air.
  • Titik layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akar-kar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga tanaman layu. Tanaman akan tetap layu pada siang atau malam hari. Kandungan air pada titik layu permanen diukur pada tegangan 15 bar atau 1.500 kPa atau pF 4,18 atau 15.849 cm tinggi kolom air.
  • Air tersedia adalah banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.

3. Model Neraca Air Tanaman.
 
          Model ini merupakan penggabungan data klimatologis, data tanah, dan data tanaman. Neraca air ini dibuat untuk tujuan khusus pada jenis tanaman tertentu. Data tanaman yang digunakan adalah data koefisien tanaman pada komponen keluaran dari neraca air.



SIKLUS DAN PROSES HIDROLOGI

          Kajian Siklus Hidrologi sangat bermanfaat dalam memahami konsep keseimbangan air dalam skala global hingga daerah aliran sungai (DAS) atau bahkan dalam skala lahan. Dalam sub bagian ini akan dijelaskan definisi dan ilustrasi dari siklus hidrologi, kemudian akan dilanjutkan hingga pembahasan proses yang terjadi selama siklus tersebut berlangsung. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan pemahaman kualitatif dari proses hidrologi fisis yang terjadi pada sistem global hingga terutama DAS. Metode kuantitatif dan teknik matematik yang terkait dengan pengumpulan, penggunaan data yang benar dan interpretasi data klimatologi dan hidrologi akan dijelaskan lebih jauh pada sub bagian selanjutnya.
1.Siklus Hidrologi

          Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain. Proses sirkulasi dan perubahan fase zat cair tersebut dikenal sebagai Siklus Hidrologi (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Siklus Hidrologi
          Menurut Wiersum (1979, dalam Lieshout, tanpa tahun) selama siklus atau sub siklus hidrologi maka air akan mempengaruhi kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia ataupun biologi. Efek fisik akan terlihat selama proses gerakan air sehingga menimbulkan erosi pada bagian hulu dan sedimentasi pada bagian hilir. Efek kimia terlihat setelah proses kimiawi antara air yang mengandung bahan larutan tertentu dengan kimia batuan sehingga batuan tersebut terlapukkan, sedangkan efek biologi terutama sebagai media transport bagi perpindahan binatang karang serta media bagi pertumbuhan tanaman.

          Analisis kuantitatif dari konsep siklus hidrologi dapat didekati dengan dua cara yang berbeda, yaitu sederhana dan komplek. Pendekatan sederhana berlandaskan pada persamaan kontinuitas dalam bentuk neraca air atau hidrologi (lihat Persamaan 1)
Inflow = Outflow  Storage ............................... 1.
          Persamaan 2.1. cenderung hanya memperhatikan aliran masuk dan keluar serta cadangan air tapi tidak memperhatikan proses yang terjadi di antara keduanya, sehingga dari pandangan konsep mekanistik maka pendekatan pertama kurang sempurna. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka pendekatan kedua yang lebih komplek layak untuk diperhitungkan. Pendekatan kuantitatif kedua dari siklus hidrologi adalah diawali dengan pengertian bahwa suatu siklus dibatasi oleh kondisi fisik tertentu seperti DAS atau sebidang lahan, dan di dalamnya menerima masukan (input), proses, dan keluaran (output). Masukan (input) mencakup presipitasi dengan berbagai bentuknya. Keluaran (output) mencakup dua keluaran utama yaitu evaporasi dan limpasan serta bocoran akifer, sedangkan proses meliputi berbagai transfer air yang terjadi dalam system siklus tersebut. Pendekatan kedua ini apabila dikaji lebih jauh bentuknya sama dengan pendekatan pertama yaitu neraca air atau hidrologi, namun prosedur perhitungannya lebih komplek (lihat Persamaan 2)

P – (Q + ET)  L = S ............................... 2.

dimana:
P = presipitasi total
Q = total limpasan dan aliran sungai termasuk aliran air bumi
ET = total evaporasi dan transpirasi
L = bocoran (leakage) air yang keluar dari system atau bocoran air yang masuk ke dalam sistem
S = perubahan cadangan air dalam sistem dan dipertimbangkan setiap periode waktu tertentu
Metode untuk mengukur dan mengestimasi unsur-unsur yang terdapat dalam Persamaan 1 dan 2. akan dibincangkan lebih jauh dalam kajian atau analisis neraca air secara khusus, yaitu neraca air lahan, daerah aliran sungai dan global.
2.PROSES HIDROLOGI

          Kajian proses hidrologi mencakup pembahasan sederetan unsur-unsur yang terdapat dalam siklus hidrologi. Secara garis besar dalam kajian ini proses hidrologi akan dipilah jadi dua, yaitu ketika masih ada di atmosfer dan setelah ada di daratan. Kajian pertama dimasukan dalam kajian air di atmosfer dan yang terangkum di dalamnya adalah evaporasi, transpirasi, kondensasi dan presipitasi; sedangkan kajian kedua adalah kajian air di atas dan bawah muka bumi yaitu meliputi intersepsi, infiltrasi, perkolasi, airbumi dan limpasan permukaan.
           Kajian air di atmosfer dapat dilihat pada materi klimatologi sedangkan pada tulisan ini titik berat pembahasan pada air yang ada di atas dan bawah muka bumi. Air dari presipitasi yang jatuh di muka bumi dapat dipilah jadi 2 kelompok berdasarkan lokasi jatuhnya, yaitu vegetasi dan atau lahan terbangun (building area) serta tanah permukaan. Air presipitasi yang tertangkap/terintersepsi oleh vegetasi, sebagian akan menguap dan sebagian lain akan jatuh ke tanah permukaan melalui proses dripstem flow, dan through fall. Air dari tetesan tajuk daun ataupun aliran batang tersebut akan masuk ke tanah permukaan (top soil) melalui proses infiltrasi bersama dengan air presipitasi yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Tahap lanjutan setelah proses infiltrasi adalah perkolasi yaitu mengisi lapisan tanah jenuh (saturation zone) dan menambah cadangan airbumi (groundwater). Air hasil proses infiltrasi dan perkolasi akan bergerak menuju ke daerah yang tekanan hidroliknya rendah dan keluar sebagai mata-air di sungai, danau ataupun laut.
          Apabila intensitas presipitasi tinggi sedangkan kapasitas maksimum infiltrasi telah terlampaui maka tahap selanjutnya adalah terbentuknya tegangan tipis dari air presipitasi di permukaan tanah (surface detention). Tegangan ini akan semakin menebal untuk kemudian mengalir secara laminar hingga turbulen di atas permukaan tanah yaitu menuju ke daerah yang topografinya lebih rendah. Gerakan air di atas permukaan tanah tersebut dikenal sebagaioverland flow atau surface runoff. Air dari limpasan permukaan (surface runoff) akan bergerak atau mengalir menuju sungai (channel flow), kemudian dilanjutkan menuju laut. Air yang terdapat di badan air (sungai, danau ataupun laut), tanah dan vegetasi akan mengalami proses evaporasi untuk kemudian menjadi presipitasi kembali dan mengikuti daur hidrologi selanjutnya.
PENGUKURAN DAN PENDUGAAN DATA HIDROLOGI
          Tahap awal dalam kajian hidrologi adalah bagaimana cara mengukur dan menduga data hidrologi. Data hidrologi dapat diperoleh dengan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung, data pertama antara lain infiltrasi, tinggi muka sungai dan kedalaman muka airtanah ; sedangkan data kedua antara lain debit air, ataupun hidrograf aliran. Debit air permukaan pada suatu outlet diperoleh dari hasil perkalian antara kecepatan aliran air terhadap luas penampang basahnya. Hidrograf aliran diturunkan dari data tinggi muka air per satuan waktu terhadap kurva/lengkung kalibrasi.
           Data hidrologi umumnya diukur pada suatu lokasi (posisi lintang, bujur) dan batas tertentu. Batas atau boundary yang sering digunakan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, untuk kajian lebih detil batas hamparan lahan (misal: dataran aluvial di Pantai Utara Jawa) juga sering digunakan.


1. Morfometri DAS
          Morfometri adalah nilai kuantitatif dari parameter-parameter yang terkandung pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Parameter morfometri DAS diantaranya adalah batas dan luas DAS, panjang sungai utama, orde sungai, dan tingkat kerapatan drainase.

          Batas DAS yang tergambar pada suatu peta jaringan sungai adalah batas artificial atau batas buatan, karena pada kenyataannya batas tersebut tidak tampak di lapangan. Batas tersebut meskipun tidak tampak di lapangan tetapi pada kenyataannya, batas tersebut membatasi jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS besar tersusun atas beberapa sub-DAS, dan sebuah sub-DAS kemungkinan tersusun oleh beberapa sub-sub-DAS dan untuk jelasnya lihat ilustrasi berikut (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Batas DAS hingga Sub-DAS (Strahler, 1975)
          Banyak-sedikitnya jumlah air hujan yang diterima suatu DAS, bergantung atas luas atau tidaknya DAS tersebut serta tegas-tidaknya batas antar DAS. DAS yang memiliki luasan besar tentunya akan menghasilkan debit puncak yang lebih besar daripada DAS yang kecil. Prediksi debit puncak secara relatif dapat didekati selain dengan luas DAS adalah dengan bantuan bentuk DAS. Apabila diasumsikan intensitas hujan, luas dan topografi dua buah DAS adalah sama tapi bentuk DAS-nya berbeda (misal panjang dan bulat) maka karakteristik alirannya dapat diperbandingkan secara relatif. Bentuk DAS panjang akan memiliki waktu mencapai puncak yang lebih lama daripada bentuk DAS bulat; sedangkan debit DAS berbentuk bulat adalah lebih besar daripada bentuk DAS yang panjang. Ilustrasi berbagai bentuk DAS beserta debit puncak yang digambarkan dalam bentuk kurva hidrograf aliran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai dan Limpasan (Seyhan, 1990)
          Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai induknya. Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan adalah Strahler. Sungai orde 1 menurut Starhler adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan dianggap sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat adalah orde sungai yang lebih tinggi. Ilustrasi dari penggunaan metode Strahler tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Metode lain dalam penentuan orde sungai ini antara lain adalah metode Horton, Shreve, dan Scheideger.
Gambar 4. Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)
          Panjang sungai utama sebagai morfometri ketiga dalam kajian ini akan menunjukkan besar atau kecilnya suatu DAS serta kemiringan sungai utama yang lebih-kurang identik dengan kemiringan DAS. Kemiringan sungai utama akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran, maksudnya semakin tinggi kemiringan sungai utama maka semakin cepat aliran air di saluran untuk mencapai outlet atau waktu konsentrasinya semakin pendek.
          Sungai utama beserta anak-anak sungainya membentuk pola aliran tertentu. Jumlah panjang seluruh alur sungai dibagi dengan luas DAS disebut kerapatan drainase. Menurut Linsley (1982 dalam Tikno, 1996) menyatakan bahwa kerapatan drainase atau drainage densitymempunyai hubungan dengan tingkat penggenangan. Nilai kerapatan kurang dari 1 menunjukkan bahwa DAS tersebut sering tergenang atau drainasenya buruk, sedangkan kerapatan drainase 1 – 5 mengindikasikan bahwa DAS tersebut tidak pernah tergenang atau drainasenya baik.




2. Pengukuran Volume Aliran Sungai

          Debit atau laju volume aliran sungai umumnya dinyatakan dalam satuan volum per satuan waktu, dan diukur pada suatu titik atau outlet yang terletak pada alur sungai yang akan diukur. Besar debit atau aliran sungai diperoleh dari hasil pengukuran kecepatan aliran yang melalui suatu luasan penampang basah. Metode pengukuran debit ini dikenal dengan istilah metode kecepatan-luas (velocity-area method). Bentuk persamaan ini dapat diekspresikan sebagai berikut:


Q = Av ............................................ 3.


di mana:

Q = laju volume aliran (cfs atau m3/detik)
A = luas penampang melintang alur sungai (f2 atau m2)adalah kecepatan rata-rata pada
v = penampang melintang alur sungai (ft/sec atau m/detik)

          Kecepatan aliran tersebut dapat diukur secara manual ataupun dengan alat current meter. Pengukuran kecepatan aliran sungai dengan current meter umumnya harus memperhatikan karakteristik alur sungai terutama lebar dan dalamnya alur. Berdasarkan karakteristik alur tersebut maka ada 4 tipe pengukuran kecepatan aliran, yaitu tipe satu titik hingga lima titik untuk rincinya lihat Tabel 1.


          Data debit sungai dengan menggunakan hasil pengukuran luas penampang basah dan kecepatan aliran umumnya telah direkap dan diformulasikan dalam suatu persamaan dan kurva tinggi muka air-debit aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah stage-discharge rating cuve yang senantiasa dikoreksi untuk setiap kurun waktu atau peristiwa tertentu. Berdasarkan persamaan atau kurva tersebut maka pengukuran di lapangan hanya mencakup tinggi muka air sungai tiap waktu (stage-hydrograph). Penggabungan dan analisis kedua kurva tersebut akan menghasilkan kurva hidrograf aliran (discharge hydrograph) yang sangat bermanfaat dalam analisis hidrologi lebih lanjut. Namun, umumnya data debit hasil pengukuran hanya terdapat pada DAS besar sehingga untuk analisis pada DAS kecil sering kali kesulitan. Untuk mengatasinya maka dikembangkan metode prediksi limpasan dan aliran sungai yang identik atau pengembangan lebih jauh dari analisis debit.



3. Prediksi Volume Aliran Sungai

          Apabila data debit sungai hasil pengukuran tidak ada maka metode tidak langsung perlu dikembangkan. Parameter hidrologi yang terkait dengan volume aliran sungai dan dapat diukur secara tidak langsung adalah total volume limpasan atau kuantitas luaran DAS dan laju debit maksimum. Debit maksimum adalah salah satu parameter penting yang sering digunakan dalam evaluasi rancang bangunan air dimana jumlah atau volume limpasan akan sangat menentukan ukuran serta kekuatan bangunan tersebut.

Estimasi Debit Puncak

          Debit puncak pada suatu DAS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rasional. Persamaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mulvaney (1847, dalam Schulz, 1976) di Irlandia. Mulvaney (1847) merekomendasikan bahwa persamaan ini sebaiknya digunakan untuk DAS kecil dengan ukuran kurang dari 100 acre atau 0.16 mil2. Apabila persamaan ini akan digunakan untuk DAS besar maka efek air yang tertahan pada depresi atau cekungan harus dipertimbangkan dan dimasukkan dalam persamaan tersebut. Persamaan rasional diekspresikan sebagai :

Qp = 0.278CiA ................................. 4.


di mana:

Qp= debit puncak (m3/detik)

C = koefisien limpasan (rasio tebal limpasan dan tebal curah hujan)

i = intensitas hujan (mm/jam) ketika lama hujan (tr) pada DAS tersebut sama dengan
waktu konsentrasinya (tc)

A = luas DAS ( km2)


Persamaan lain adalah yang dikembangkan oleh Burkli-Ziegler:


Q = CiA [S/A]^0.25 ....................................... 5.



di mana:

Q = debit puncak (cfs)

C = koefisien limpasan

I = intensitas hujan (inch/jam)

A = luas DAS

S = kemiringan permukaan tanah rata-rata


          Waktu konsentrasi dapat didekati dengan menggunakan persamaan Kirpich, dan apabila persamaan ini diterapkan untuk DAS maka ekspresi dari persamaan tersebut adalah:
di mana L adalah panjang jarak dari tempat terjauh di DAS sampai outlet, diukur menurut jalannya air di sungai (feet) dan s adalah kemiringan rata-rata DAS (H:L)

          Berdasarkan beberapa kajian persamaan rasional ini sering memberikan hasil yang over estimasi atau lebih besar daripada hasil pengukuran (Schulz, 1976). Namun, apabila dilihat dari sisi keamanan maka hasil perhitungan debit puncak adalah lebih aman, meskipun secara hidroekonomis hasil perhitungan ini kurang baik karena menimbulkan biaya tinggi.

4. Estimasi Volume Limpasan Permukaan

          Jika tidak ada informasi kuantitatif tentang kuantitas dan waktu limpasan dan aliran sungai pada suatu DAS, maka volume limpasan dapat diestimasi dengan menggunakan karakteristik fisik DAS dan data hujan sebagai masukan. Metode estimasi itu disebut metode Bilangan Kurva (Curve Number) yang dikembangkan oleh SCS (the Soil Conservation Services). Pada metode ini, besarnya limpasan berbanding lurus dengan besarnya curah hujan dan hubungan tersebut diekspresikan sebagai berikut:




di mana:

Q = volume limpasan (dinyatakan dalam : mm)

P = curah hujan (mm)

S = beda potensial maksimum antara tebal curah hujan dan limpasan permukaan (mm), pada
saat awal hujan. Hal ini merepresentasikan kondisi penutup lahan/tanah hidrologis
dan mencerminkan kapasitas infiltrasi, lengas awal dan penutup lahannya

          Dalam kajian lebih lanjut nilai S dapat didekati dengan konsep Bilangan Kurva (CN) . Konsep ini menganut pengertian adanya faktor urutan atau rating, yaitu sebagai akibat adanya pengaruh tanah dan kondisi penutup lahan terhadap besar-kecilnya limpasan. Kaitan Bilangan Kurva dengan nilai S dapat diekspresikan sebagai berikut:
SCS sebagai lembaga yang melahirkan konsep Bilangan Kurva telah mengembangkang hubungan antara Bilangan Kurva terhadap jenis penggunaan/penutup lahan beserta perlakuan konservasinya, kondisi hidrologi dan jenis tanahnya. Pengembangan tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel. Dan, khusus untuk kajian ini jenis tanah dibagi jadi 4 kelompok besar. Masing-masing kelompok mendiskripsikan karakteristik tekstur tanahnya yang sekaligus mencerminkan sifat atau potensi limpasannya, serta laju infiltrasi akhir dari tanah tersebut.

        Suatu hal yang penting bahwa estimasi limpasan ini berdasarkan suatu kejadian hujan dan bukannya hujan rata-rata bulanan ataupun tahunan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya limpasan yang disebabkan oleh suatu kejadian hujan sangat dipengaruhi oleh besarnya hujan 5 hari sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi lengas tanah awal yang sangat berpengaruh terhadap besarnya suatu limpasan. Khusus untuk Indonesia maka kondisi 5 hari awal dikelompokkan jadi 3 AMC (Antecendent Moisture Condition):

Tabel 2. Nilai AMC untuk Wilayah Indonesia


G.  CARA KERJA
Setelah menerima data yang diterima dari dosen, kemudian data diolah dengan Microsoft Exel. Langkah- langkah pengolahannya datanya adalah :
1. Kolom curah hujan (CH)
Diisi dengan data curah hujan rata -rata bulanan atau curah hujan dengan
peluang tertentu (misal CH dengan peluang (P 75%)) yang dapat mewakili
seluruh lahan.

2. Kolom evapotranspirasi potensial (ETP)
Diisi dengan nilai ETP dari stasiun setempat dengan urutan prioritas ETP dari
: Lysimeter, Panci klas A dikali dengan koefisien dan pendugaan ETP dengan
rumus empiris (Penman, Thorthwaite, Blaney -Criddle dsb). Prosedur
menghitung ETP dapat dipelajari pada penuntun praktikum ini : modul
menghitung evapotranspirasi.

3. Kolom CH – ETP
Diisi dengan nilai selisih CH dengan ETP

4. Kolom akumulasi potensial kehilangan air untuk penguapan (APWL)
Diisi dengan penjumlahan nilai CH-ETP yang negatif secara berurutan bulan
demi bulan.

5. Kolom kandungan air tanah (KAT)
Isi dulu nilai KAT dimana terjadi APWL dengan rumus :
KAT = TLP + [ [ 1,00041 – (1,07381/AT)]| APWL| x AT]
dimana, TLP =titik layu permanen dan KL = kapasitas lapang dan
air tersedia, AT = KL – TLP
|APWL| = nilai absolut APWL
Misal KAT Mei (APWL = -9)
KL=250 mm, TLP =100 maka AT = 250 – 100 = 150 mm, sehingga
KAT mei = 100 + [[1.00041-(1,07381/150)]9 x 150] = 241,1 mm
Kemudian isi nilai KAT pada kolom dimana tidak terjadi APWL dengan cara:
KAT = KAT terakhir + CH - ETP , jika bila nilai KAT-nya mencapai Kapasitas
Lapang (KL) maka yang diambil adalah nilai KL.
Misal untuk bulan Nopember :
KAT terakhir = KAT oktober (124 mm) dan CH-ETP Nopember = 63 mm, maka
KAT Nop = 124 + 63 = 187 (belum mencapai KL).
Misal untuk bulan Pebruari :
KAT terakhir = KAT Januari (250 mm) dan CH-ETP Januari = 128 mm, maka
KAT Nop = 250 + 128 = 378 (melebihi KL = 250 mm) sehingga KAT
Januari = 250 mm.

6. Kolom perubahan kadar air tanah (dKAT)
Nilai dKAT bulan tersebut adalah KAT bulan tersebut dikurangi KAT bulan
sebelumnya. Nilai positif menyatakan perubahan kandungan air tanah yang
berlangsung pada CH  ETP (musim hujan), penambahan berhenti bila dKAT
=0 setelah KL tercapai. Sebaliknya bila CH  ETP atau dKAT negatif, maka
seluruh CH dan sebagian KAT akan di -evapotranspirasi-kan.

7. Kolom Evapotranspirasi Aktual (ETA)
Bila CH  ETP maka ETA = ETP karena ETA mencapai maksimum.
Bila CH  ETP maka ETA = CH + |dKAT|
karena seluruh CH dan dKAT seluruhnya akan dievapotranspirasikan.


8. Kolom Defisit (D)
Defisit berarti berkurangnya air untuk dievapotranspirasikan sehingga,
D = ETP – ETA , berlangsung pada musim kemarau.

9. Kolom Surplus (S)
Surplus berarti kelebihan air ketika CH  ETP sehingga,
S = CH-ETP-dKAT , berlangsung pada musim hujan.

10. Kolom Run Off
Run off (RO) merupakan aliran permukaan atau limpasan. Thornthwaite dan
Mather (1957) membagi RO menjadi dua bagian :
1. 50% dari Surplus bulan sekarang (Sn).
2. 50% dari RO bulan sebelumnya (ROn -1).
Nilai 50% adalah koefisien run off studi di Amerika. Nilai ini dapat berubah
sesuai kondisi setempat. Sehingga,
RO bulan sekarang (Rn) = 50% (Sn + ROn -1)
Misal untuk RO Maret = 50% (152 + 137) = 144 mm.
Khusus RO bulan Januari, karena ROn -1 belum terisi maka ROn-1 diambil
50% dari surplus bulan Desember (50% dari 56 = 28 mm).

11. Buatlah grafik dimana sumbu-x adalah bulan dan sumbu-y adalah curah hujan,
ETP dan ETA






















H.  HASIL DAN PEMBAHASAN
-         Hasil

-         Pembahasan

Dari grafik dapat dilihat bahwa surplus air terjadi mulai bulan Oktober sampai dengan Agustus (11 bulan), sedangkan defisit air terjadi hanya pada bulan September (1 bulan). Surplus air tertinggi terjadi pada bulan maret, dengan curah hujan 604 mm. Sepanjang tahun terjadi 11 bulan surplus air, ini membuktikan hampir selama 11 bulan terjadi musim hujan yang memyebabkan surplus air, dan hanya 1 bulan musim kemarau yang menyebabkan defisit air. Karena sepanjang tahun banyak terdapat bulan- bulan surplus air, maka kemungkinan dapat terjadi bencana banjir di daerah tersebut dan hal ini dapat disebabkan oleh global warming dan peningkatan emisi gas rumah kaca sehingga menyebabkan keadaan alam ini tidak stabil lagi. Setelah mengetahui data neraca air ini, dapat dilakukan tindakan- tindakan untuk mengantisipasi bencana banjir yang mungkin akan terjadi, seperti dengan membuat saluran drainase, dan menentukan teknik pengendalian banjir. Jika terjadi banyak bulan defisit air, analisis neraca air dapat digunakan sebagai dasar pembuatan bangunan penyimpanan dan pembagi air serta saluran-salurannya. Selain itu, analisis neraca air juga digunakan sebagai dasar pemanfaatan air alam untuk berbagai keperluan pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga perikanan.


I.      KESIMPULAN
F Surplus air terjadi mulai bulan Oktober sampai dengan Agustus (11 bulan).
F Surplus air tertinggi terjadi pada bulan maret, dengan curah hujan 604 mm.
F Defisit air tejadi pada bulan September.
F Setelah mengetahui data neraca air ini, dapat dilakukan tindakan- tindakan untuk mengantisipasi bencana banjir yang mungkin akan terjadi, seperti dengan membuat saluran drainase, dan menentukan teknik pengendalian banjir.
F Terjadi ke tidak stabilan antara surplus dan deficit air disebabkan karena global warming dan peningkatan emisi gas rumah kaca, sehingga keadaan ala mini tidak lagi stabil.


J.     DAFTAR PUSTAKA
-           Dewan Riset Nasional.(1994). Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Ristek. Jakarta.
-           Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief .(2005). Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta.
-          WWW.GOOGLE.COM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar